Resensi & Review Buku: The Comfort Book [Matt Haig]
Kita semua tahu–baik secara teori maupun empiris–bahwa di titik-titik terendah dalam hidup kita, selalu ditemukan pelajaran-pelajaran dan hikmah yang tak akan kita temui jika kita tidak mengalami pengalaman buruk itu. Matt Haig dalam buku The Comfort Book ini menuliskan pelajaran-pelajaran yang sebagian besar ia dapatkan pada waktu-waktu sulit yang ia alami. Membaca buku ini terasa seperti membaca jurnal atau buku catatan yang isinya cukup random dan seinginnya penulisnya, atau dalam bahasa Jawa “sak sir-e penulis”.
Bagi sebagian orang, buku ini mungkin membangkitkan ingatan atau trauma masa lalu mengingat adanya topik depresi dan suicide (bunuh diri) di sini. Tapi tenang saja, saya rasa tidak akan berakhir buruk, karena Matt Haig akan menuntunmu untuk memeluk ingatan dan trauma itu, kemudian hidup berdampingan dengan damai dengannya. Bagi sebagian yang lain, buku ini mungkin hanyalah rangkaian kalimat-kalimat dangkal yang mungkin sudah pernah terpikirkan atau sudah pernah dibaca. Semua itu bergantung pada masing-masing orang yang membacanya. :)
Sebagai sinopsis sekaligus pengantar dari review The Comfort Book, saya rasa ini sudah cukup. Ulasan lebih dalam akan lebih kalian dapatkan di bagian Kelebihan Buku dan Kekurangan Buku The Comfort Book berikut ini. Tapi sebelumnya, berikut kucantumkan identitas buku terlebih dahulu, ya!
Identitas Buku
Judul : The Comfort Book
Penulis : Matt Haig
Cetakan Pertama : 2022
Alih Bahasa : Rani Rachmani Moediarta
Desain Sampul : Martin Dima
Setting : Fajarianto
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 259 hlm.
Kelebihan Buku
Desain sampulnya sangat elegan dan menenangkan. Salah satu alasan saya membeli buku ini adalah karena sampulnya.
Beberapa bagian bermuatan mutiara. Walaupun hanya mencakup sekitar 5% dari keseluruhan buku, mutiara tetap saja mutiara, kan? :) Mutiara yang dimaksud di sini ialah tulisan yang benar-benar membuat saya berpikir “benar juga ya” atau “wah keren dan inspiratif sekali orang yang sedang diceritakan ini.” Intinya memuat pengetahuan baru dan pelajaran berharga sekaligus. Beberapa figur yang diceritakan sedikit di buku ini yaitu Juliane Koepcke, Harold Arlen, Yip Harburg, dan Maya Angelou. Matt Haig menceritakan figur-figur tersebut beserta cobaan dan tantangan yang dialaminya. Salute! (Actually, I need more of that, rather than random cheap quotes, eheh.)
Bebas dari typo dan kesalahan-kesalahan lain yang menjadikan tidak nyaman dibaca atau merusak pemandangan jika difoto/dijadikan status WA (haha). Benar-benar bersih, sesuai KBBI dan PUEBI. Mungkin ada satu hal, yaitu kata “semakin” (bentuk tidak baku) yang seharusnya adalah “makin” (bentuk baku). Namun sepertinya ini disengaja. Entahlah. Walaupun demikian, ini sangat minor dan tidak sampai merusak.
Gaya penulisan yang bagus. Di buku The Comfort Book ini, Matt Haig mengajak pembaca mengarungi rangka berpikir yang tertata dan rapi. Mulai dari pengenalan judul yang tepat sehingga pembaca mendapat hint dari apa yang akan dibahas, kemudian diikuti cerita inspiratif. Setelah itu, Haig tidak membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri, melainkan menekankan hikmah yang dapat dipelajari dari kisah tersebut. Ia juga menambahkan opini dan perspektif pribadinya.
Membahas suatu topik yang saya sukai. Yaitu terkait teknologi dan media sosial yang sangat berperan besar dalam merebaknya standar tidak masuk akal yang ada di tengah masyarakat seperti tentang ukuran tubuh, benda-benda yang kita miliki beserta harganya, atau pencapaian-pencapaian yang katanya sudah harus digapai di masa-masa tertentu. Matt Haig berusaha meyakinkan pembaca bahwa jalan terbaik untuk keluar dari stres dan frustrasi adalah kembali ke kegiatan alami manusia sebelum munculnya teknologi yang bersifat merusak ini (baik secara fisik maupun mental).
Kekurangan Buku
Secara fisik tebal, tetapi tidak berisi. Banyak space kosong dan sisa halaman menganggur. Bayangkan, di beberapa bagian, satu halaman hanya berisi satu kalimat, satu quotes, bahkan tiga kata saja. Sungguh mubazir. Mungkin buku semacam ini lebih cocok untuk orang yang butuh buku self-improvement untuk difoto isinya kemudian diposting di Instagram ala-ala “estetik”.
Secara esensi juga tidak terlalu bergizi. Terlalu banyak repetisi/pengulangan yang menjadikannya membosankan. Bayangkan saja, berlembar-lembar kertas dihabiskan hanya untuk satu buah kalimat yang sama diulang-ulang. Itu sih afirmasi positif. Dan itu tidak harus dituangkan dalam sebuah buku dengan harga yang tidak murah! Selain itu, banyak pula nasihat yang sangat general, yang semua orang juga tahu atau mengalaminya sendiri, seperti yang banyak kita temui di feed Instagram atau media sosial biasa (which is free, tidak perlu membayar hampir seratus ribu untuk sesuatu yang bisa kita jumpai di internet bahkan secara tidak sengaja). Selain itu, bagiku sebagian besar dari quotes dan tulisan di sini cukup “meh” dan basic.
Matt Haig terkesan terlalu memaksakan dan menyumpalkan ide-de bahwa kita harus bertahan, tidak apa-apa terluka, kamu tidak harus bahagia, dan sebagainya. Mungkin akan baik-baik saja jika dikatakan 1x. Namun jika diulang-ulang terus, hal ini akan terasa memuakkan dan menjengkelkan. What are you doing? Choking us with these positive affirmation?
Buku terjemahan ini membuat saya lebih ingin membaca versi aslinya saja. Walaupun hasil alih bahasanya not bad, tapi it could’ve been better. Heheh.
Tidak ada bookmark atau pembatas buku!
Dengan demikian, untuk buku yang seperti ini, The Comfort Book kurasa sangat terlalu mahal jika dijual dengan harga Rp94.000. Separuh harga, akan kupertimbangkan. Wkwk
Kutipan Favorit
Oke, sekarang kita lari ke kutipan-kutipan favorit saya dalam buku ini. Mohon dimaklumi jika beberapa tidak dapat saya masukkan di sini karena membutuhkan satu bab utuh untuk memahami konteks atau mengikuti alurnya. Jadi, berikut ini beberapa kutipan yang saya sukai atau ingin saya tandai dari buku ini.
Angka itu adiktif karena angka memungkinkan kita mengukur, membandingkan, dan menghitung, sementara angka juga membuat kita merasa mestinya bisa lebih banyak lagi. – Dan pengukuran membatasi diri kita. Karena pengukuran menjauhkan kita dari perspektif ketidakberhinggaan. Hanya hal-hal yang terbatas yang dapat diukur, bukan?
Maka benarlah bahwa banyak hal yang berat dalam hidup ini tiba bersamaan dengan pelajaran-pelajaran atau sisi-sisi yang menguntungkan atau kehadiran perspektif baru atau alasan-alasan untuk bersyukur.
Kita punya apps media sosial yang model bisnis utamanya bergantung pada kemampuan kita untuk terus-menerus kesal dan frustrasi.
Pada masa mengalami kecemasan terburuk, bertahun-tahun lalu, saya mulai menandai bahwa selalu saja gejalanya menjadi amat akut ketika saya melakukan sesuatu yang pasti tidak terpikirkan oleh manusia-manusia gua para leluhur kita dahulu. Berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. … Duduk terlalu lama di depan layar TV atau komputer. … Pertikaian daring. Beban mental modern yang berlebihan. — Ketika saya sudah terlalu lelah, yang membuat saya tenang dan tenteram, ternyata adalah hal-hal yang menghubungkan saya kembali dengan diri saya yang alami.
Kesepian itu bukan karena ketiadaan kawan. Kesepian terasakan ketika kita tersesat. Tetapi, kita bisa tersesat tepat di dalam keramaian.
Lebih mudah untuk membiasakan diri berbasah kuyup dan gembira ketimbang belajar menghentikan hujan.
“Kamu tidak boleh menunggu dalam kesakitan.” – “Sakitnya tidak akan hilang dengan berpura-pura luka itu tidak ada.”
Bila kita menuntut masa depan bebas dari penderitaan demi merasa bahagia, kita tidak akan bisa bahagia.
Kadang-kadang hanya dengan diingatkan tentang kebahagiaan dapat membuat kebahagiaan itu lebih dimungkinkan.
“ … Semakin kita menghargai berbagai hal di luar kendali kita, semakin berkurang kendali yang kita miliki.”
Sepuluh hal yang tidak akan membuat kita lebih bahagia: — 10. Keyakinan bahwa kita harus bahagia.
Impian yang paling sulit dicapai adalah impian untuk tidak disiksa oleh impian-impian sendiri yang belum kita alami.
Kita bisa melewati labirin dengan mencoba rute-rute baru. Kita tidak merasa kita telah gagal ketika menemukan jalan buntu. Sebenarnya, kita mengapresiasi pengetahuan baru itu. Ada satu jalan buntu yang tidak akan kita ulangi lagi. Setiap jalan tertutup dan cul-de-sac membantu kita lolos dari labirin. Untuk mengetahui jalur manakah yang bisa dipilih, maka jalur-jalur yang sudah diambil secara keliru pun bisa jadi berguna.
Yang terbaik-terbaik di dalam hidup ini tetap saja teratas dibandingkan apa-apa yang dihasutkan kepada kita sebagai yang harus kita kejar-kejar.
“Somewhere Over the Rainbow”, salah satu lagu yang paling getir namun penuh harapan di dunia — ditulis oleh Harold Arlen dan Yip Harburg untuk film The Wizard of Oz pada tahun-tahun paling gelap dalam sejarah manusia: 1939. … Kedua musisi Yahudi ini menuliskan music yang bisa dibilang paling penuh harapan yang pernah ditulis, justru di masa Adolf Hitler sedang memancing peperangan dan anti-Yahudi sedang gencar-gencarnya dilancarkan.
Rute paling sederhana dan tercepat menuju kebahagiaan tampaknya adalah membuat orang lain senang. — Tiada yang membuat kita merasa lebih baik ketimbang tidak memikirkan diri kita sendiri.
Adalah lewat seorang kawan keluarga dan guru, Maya [Angelou] mendapatkan akses ke para penulis hebat. Dia membaca karya Edgar Allan Poe dan Charles Dickens dan Shakespeare dan pujangga Georgia Douglas Johnson serta Frances Harper. Perlahan-lahan, lewat membaca dan belajar, Maya memulihkan suaranya kembali. — Bahasa memberi kita kekuatan untuk menyuarakan pengalaman kita, untuk terhubung kembali dengan dunia, dan mengubah hidup kita dan hidup orang-orang lain. “Tiada nestapa yang lebih dahsyat ketimbang memendam kisah yang tak terceritakan dalam dirimu,” tulis Angelou. Kediaman itu menyakitkan. Namun, kesakitan itu punya jalan keluar. Ketika kita tidak kuasa berkata-kata, kita bisa menulis. Ketika kita tidak bisa menulis, kita bisa membaca. Ketika kita tidak bisa membaca, kita dapat menyimak. Kata-kata adalah benih. Bahasa adalah sebuah jalan untuk kembali ke kehidupan. Dan kadang-kadang merupakan hiburan terpenting yang kita miliki.
Kita adalah diri kita yang lain di suatu titik di masa depan yang akan menoleh ke belakang dengan rasa syukur bahwa diri kita yang tersesat dan diri kita yang dahulu itu telah bertahan.
Rasanya seperti paradoks aneh, betapa banyak dari pelajaran hidup yang paling jelas dan paling menghibur itu malah didapat ketika kita sedang berada dalam kondisi paling terpuruk di dalam hidup.
Kesimpulan
Sesuai dengan yang disampaikan Matt Haig berulang kali di buku ini bahwa tidak apa-apa untuk menjadi biasa saja, di sini saya menyampaikan bahwa tidak apa-apa jika tidak semua buku yang kau tulis adalah sebuah mahakarya (bahkan saya juga akan menyampaikan begitu pada salah satu penulis favorit saya–Andrea Hirata–terkait karyanya Brianna dan Bottomwise). Pendeknya, The Comfort Book (Buku yang Membuat Kita Nyaman) ini tidak bekerja sesuai judulnya–seperti yang kuekspektasikan. Bagian menenangkan dan memberikan “wah” moment hanya sekitar 5% dari keseluruhan konten.
Saya rasa buku ini lebih cocok untuk generasi yang lahir pada tahun 2000 dan setelahnya, atau remaja berusia 16 hingga 22 tahun (setidaknya menurut saya). Manusia dengan tahun kelahiran tersebut lahir di zaman teknologi modern di mana “beban modern” juga berlaku dan banyak dialami. Akibatnya, depresi, keinginan untuk pergi sesaat dari hiruk pikuk media sosial, dan kecenderungan memaksakan diri mengikuti standar-standar yang berlaku di masyarakat global pun umum terjadi. Belum lagi format bukunya yang hanya memuat sedikit tulisan, sehingga tidak memerlukan attention span yang tinggi bagi “anak zaman now” untuk membacanya atau memotret kemudian mempostingnya.
Sebaliknya, jika Anda merupakan pembaca berat, penggemar buku-buku pengetahuan atau tema yang “bergizi”, atau Anda merupakan seorang veteran dalam mengarungi pahit manis hidup serta merenunginya, saya pikir Anda tidak akan menyukai The Comfort Book. Buat apa? Anda sudah tahu cara menangani diri Anda sendiri melalui jalan internal.
Sekian.
Salam,
Alvi Rosyidah.
Komentar
Posting Komentar