Resensi dan Review Buku Brianna dan Bottomwise [Andrea Hirata]


‘Pak Cik’ Andrea Hirata selalu membuatku terpikat dengan karya-karyanya. Pertama kali, aku dibuatnya jatuh hati dengan—tentu saja—Laskar Pelangi. Buku itu hadiah ulang tahunku yang ke-11 dari ibu. Sejak saat itu, aku selalu membaca semua karyanya. Tak terkecuali. Kemudian, tahun 2022 lalu Pak Cik menerbitkan sebuah buku baru. Dari “trailer-trailer” yang diunggah Bentang Pustaka maupun Pak Cik sendiri, aku berpikir rupanya menarik. Detektif? Musik? Orkes Melayu? Boi! Aku ingin baca! Dan tentu saja akhirnya aku membelinya. Kau ingin dengar pendapatku, Kawan?

Ojeh. Mari kita sedikit berlagak formal dan memulainya dari identitas buku. Simak sampai habis, ya! :)


Identitas Buku

Judul                      : Brianna dan Bottomwise

Penulis                   : Andrea Hirata

Cetakan Pertama    : 2022

Penerbit                  : Bentang Pustaka

Jumlah halaman     : 362 hlm.

Sinopsis

Sinopsis Brianna dan Bottomwise ini sih sudah banyak beredar di internet sebenarnya. Website Bentang Pustaka pun mengunggahnya. Tapi baiklah, kujelaskan intinya saja dengan ringkas.

Buku ini bercerita tentang gitar seorang legenda musik (John Musiciante) yang hilang dicuri orang, kemudian dijual, dibeli, dipindahtangankan, dan di- di- yang lain, yang melibatkan banyak orang dari berbagai latar belakang dan berbagai tempat di dunia. Selain bercerita tentang masing-masing orang yang sempat memegang gitar tersebut, diceritakan juga bagaimana depresinya sang musisi legendaris (John Musiciante) itu. Karena gitar itu mengingatkannya pada almarhumah ibunya, kehilangan gitar itu rasanya bagaikan kehilangan ibunya untuk yang kedua kali.


Saking frustrasinya, ia menyewa detektif swasta bernama Bottomwise yang merekrut asisten bernama Brianna. Mereka melakukan usaha pencarian hingga di ambang depresi juga. Tapi ujung-ujungnya ketemu kok gitarnya. Meskipun bukan mereka yang menemukan. Haha. Dah gitu aja ya. Sekarang kita lanjut ke kelebihan dan kekurangan buku.


Kelebihan Buku

  • Sama seperti karya-karya Andrea Hirata lainnya, di setiap lembarnya selalu ada kejenakaan, keharuan, sindiran, atau nasihat yang terselip. Semuanya khas ala Andrea Hirata.

  • Mengangkat tema yang tidak umum untuk ukuran novel: musik. Apalagi ada orkes Melayu-nya. Mangtap sekali.

  • Nama tokoh selalu “masuk” atau klik dengan karakternya. Sehingga selama membaca tidak pernah ada pikiran-pikiran yang mengganggu semacam, “Lho, kukira orang ini karakternya begini. Ternyata begini.” Apalagi nama-nama kebarat-baratan untuk tokoh lokal. Sungguh, Andrea Hirata tentu tahu itu menjijikkan.

  • Kupikir buku ini akan bisa dinikmati siapa pun yang membacanya, baik orang yang mengerti musik sampai yang bebal musik.

  • Banyak memuat referensi seputar musik dan juga lagu-lagu yang belum kukenal. Auto-browsing dan auto-nambah pengetahuan. Ehehe

  • Banyak disebut band, lagu, atau musik yang aku suka, contohnya lagu While My Guitar Gently Weeps oleh George Harrison (eks anggota The Beatles yang tampan itu). *ehe, mulai ya. maap2. šŸ™‚


Kekurangan Buku

  • Sejujurnya ya, aku tidak mengerti kenapa judul buku ini Brianna dan Bottomwise, sementara kiprah mereka berdua hampir nihil. Bahkan kupikir mereka ini karakter yang paling useless dan mengganggu. Berbeda dengan buku Guru Aini yang karakter paling mencoloknya ya Guru Aini sendiri. Masuk akal. Di buku Brianna dan Bottomwise ini, karakter favoritku malah Sadman si musisi praamatir dan Marjoli. Hahaha. Tapi okelah, berhubung ini buku pertama dari sebuah dwilogi, mari kita tunggu buku keduanya. Semoga kita akan mendapat penjelasan kenapa nama dua tokoh ini sampai dicetak tebal di sampulnya.

  • Detektif Bottomwise di buku ini pernah berkata pada Brianna saat ia akan merekrutnya, “Tahukah kau pekerjaan ini akan mendorongmu ke tepi-tepi karakter manusia? Kau akan menjumpai kejahatan dan kekejaman sehingga kau menyesal dilahirkan ke muka bumi ini. Kau akan merasa iba pada korban sehingga bersedia menukar posisimu dengan korban itu. Kau akan putus asa sehingga kau mau bunuh diri. Kau akan marah sehingga kau mau membunuh.” Saya sebagai pembaca tidak merasa Andrea Hirata membawa saya ke petualangan yang membuat kedua detektif ini merasa demikian. Seingat saya, Bottomwise memang di tengah pencariannya depresi hingga minum obat penenang. Tapi ya sudah, itu saja. Aku tidak sampai iba dibuatnya, karena memang perkenalan dan pendekatan dengan tokoh detektif ini sangat kurang. Paling muak ketika si Bottomwise ini dikatakan sebagai “detektif/wanita tangguh”, “ternama”, atau sejenisnya. Sama sekali tiada kisah heroik di sini. Flat-flat saja. Apa-apaan wanita tangguh. Benar-benar detektif tidak berguna. šŸ‘ŽšŸ½

  • Ikatan batinku dengan John Musiciante juga sebenarnya tidak terlalu kuat, walaupun tidak selemah dengan dua detektif itu. Latar belakang Musiciante yang tidak terlalu dalam diceritakan membuatku kesulitan bersimpati akan kesedihannya kehilangan gitar itu. Alih-alih aku ingin gitar itu cepat ketemu dan Musiciante tidak sedih lagi, aku lebih menikmati kalau gitar itu dipegang Sadman Orkes Man. Mungkinkah karena aku merasa secara batiniah sangat dekat dengan musisi tak bertalenta itu? Wkwkw šŸ˜€

  • Too much information, sometimes. Dan itu membuat beberapa bagian dalam buku jadi membosankan. Kadang ada detail-detail yang malah membuatku merasa ini agak cringe. Misalnya, penyebutan nama-nama kota atau negara bagian (aku lupa) di Amerika Serikat. Saking panjang dan detailnya, aku jadi berpikir, “iya, iya, aku tahu risetnya pasti meluas dan mendalam, tapi ya jangan ditumpahkan semuanya begini.” Apalagi ketika itu ada di part-nya si detektif swasta tak berguna itu. Argh, f**k off. -_-

  • Di bagian belakang buku ada sekitar 45 halaman yang berisi katalog karya Andrea Hirata beserta reviu-reviu dari orang-orang, mulai dari orang terkenal sampai orang random. Mulai dari murid SD, guru SD, TKW, pensiunan pegawai negeri, penjaga perbatasan, narapidana, hingga tukang bangunan yang mana itu tetangganya sendiri di Belitong (yang reviunya berbunyi begini, “Kubaca Laskar Pelangi. Selain buku mimpi nomor togel, itulah buku paling lama aku membacanya, dua halaman saja, setelah itu aku mengantuk.” Hahaha. Kocak-kocak memang. Tapi Kawan, 45 halaman itu terlalu tebal untuk sebuah katalog di bagian belakang buku!

  • Masih ada beberapa typo. Pada halaman 31, kata “kabarnya” ditulis “kabarmya”. Bahkan di halaman 222 ada 2 typo: “gitar” yang ditulis “giar” dan “Bagaimana” yang ditulis “Bagaiman.” Sebenarnya ada hal-hal lain yang aku tidak tahu itu benar atau salah, atau sengaja dibiarkan begitu biar feel-nya dapet, misalnya seperti kata “mengkanibalkannya” (menganibalkannya?), “semakin” (makin?), dan seterusnya. *(Tolong beri tahu aku kalau aku salah ya, Kawan! ^^)


My Favourite Quotes

Berikut ini beberapa quotes yang aku suka dari buku Brianna dan Bottomwise. Aku yakin pembaca dapat menebak konteksnya dan memaknainya sendiri. šŸ˜Œ

  • "Dia musisi yang masih peduli untuk membuat lirik lagu yang mendidik."

  • "Mereka saling bersetor kisah tentang sulitnya mencari nafkah, tentang hati yang berulang kali patah."

  • "Yakni ada, bahkan banyak, orang yang cenderung berperilaku minimalis dan pragmatis di dunia ini. Mereka adalah orang-orang asyik yang membebaskan diri dari segala bentuk attachment pada benda-benda. Mereka menolak menjadi korban iklan dan nafsu memiliki yang tak pernah bisa dipuaskan. Mereka kaum efektif efisien yang murah hati menyumbangkan atau membuang benda-benda yang tak mereka pakai."

  • "Semakin mereka mengidentikkan bunyi gitar dengan preferensi mereka sendiri, semakin mereka menjauh dari konsep tentang bagaimana seharusnya gitar bermutu tinggi berbunyi." [Catatan Alvi: What if… “bunyi gitar” di sini bermakna “agama”? What do you think?šŸ˜Œ]

  • "Dia gemar membaca karena melihat ibunya selalu membaca. Konon itulah cara terbaik untuk membuat anak senang membaca."

  • "Permasalahan terbesar para amatir adalah, di bidang apa pun, mereka tak pernah bisa menjaga mulut mereka. … Padahal dalam kebaikan maupun keburukan, manusia dengan mulutnya, adalah manusia dengan mulutnya."

  • "Marjoli membelinya karena gitar rongsokan itu disandarkan tak bertutup, tampak merana, kesepian, terkucil tak berkawan. Gitar itu paling buruk dan tersingkir dari gitar-gitar lainnya yang lebih mentereng. Ia seakan telah mengalami cobaan yang berat. Melihatnya, Marjoli teringat pada dirinya sendiri. Personal, sentimental, demikian pertimbangannya membeli gitar itu, sama sekali bukan komersial, apalagi musikal."

  • "Pelajaran moral No. 41: Berkawan dengan orang terkenal memang susah, berkawan dengan orang yang mau terkenal, jauh lebih susah."

  • "Marjoli selalu mendukung Alma dengan kejujurannya yang tak tanggung-tanggung itu karena dia tahu muara kejujuran tidaklah selalu—bahkan kerap bukan—kekayaan, namun pasti keindahan."

  • "Hal ini bukan baru sekali dua terjadi. Dia tahu, socially awkward, kecanggungan sosial, banyak melanda anak genius dan super berbakat seperti Alma. IQ kreatif mereka setinggi langit, kemampuan berkomunikasi mereka macam anak kecil. Mereka tak pandai berbicara, mereka kaku, apa adanya, mereka lebih lugu dari mengkudu, lebih jujur daripada nangka bubur."

  • "Jelas mereka adalah musisi pro. Mereka memang korup, licik, tamak, jahat, namun hal itu tak ada hubungannya apakah seseorang musisi, bramacorah, guru agama, atau penerima beasiswa."

  • "Alma cukup sensitif untuk memahami bahwa kecanggungan ketukan 6/8 dalam ketaksabaran tempo 200 BPM hanya cocok ditumpangi lirik-lirik lagu tentang kegagalan yang getir, penyesalan yang terlambat, dan tragisnya melihat orang-orang muda, dalam tahun-tahun tersegar mereka, hanya duduk berpangku tangan saja, tak kunjung berkarya."

  • "Mengapa anak-anak sangat berbakat selalu anak-anak miskin?"

  • "Detektif swasta perempuan yang tangguh itu tak mau kelihatan lemah, karena itu dia berkacamata hitam. Dia pun ingin tampak berani untuk mimpi besarnya yang lain, sebab, seperti Sadman Orkes Man, dia pun tahu bahwa mereka yang melupakan mimpi-mimpinya akan bangun tidur setiap pagi, dalam keadaan kalah."


Kesimpulan

Sebenarnya sayang sekali, Brianna dan Bottomwise menjadi buku Andrea Hirata pertama yang saya reviu. Padahal ada banyak bukunya yang minim kekurangan (menurut saya, hehe). Tapi gapapa mungkin yaa. Jika pembaca yang budiman awalnya niat ingin membaca, tetapi tidak jadi membaca hanya karena kekurangan buku ini, saya sarankan untuk kembali ke atas dan baca lagi kelebihan buku ini. In Syaa Allah, apa yang kalian baca tidak ada yang sia-sia kok. I sweeeaaar. šŸ˜Š✌šŸ½

Sekian dulu yaa dariku. Semoga bermanfaat.

Salam hangat,

Alvi Rosyidah


Sumber gambar: Alvi Rosyidah, (dok. pribadi)

Komentar

  1. riview nya sangat jelas dan menarik untuk di baca aku jadi teracuni ingin membeli buku itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi senang mendengarnya. Boleh tuh buat tambahan koleksi buku di rak. ^.^

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Lirik Lagu Little by Little - Oasis (Bagian 1) | Literal Translation dan Beberapa Catatan Penting

Analisis Lagu "The Masterplan" - Oasis

Terjemahan Bebas dan Analisis Lirik Lagu Little by Little - Oasis (Bagian 2)

Kritik terhadap Standar Sosial serta Impian Manusia yang Terdistorsi | Analisis Lirik Lagu Californication oleh Red Hot Chili Peppers

Bahaya Jas Almamater (dan Sebangsanya)

5 Film dengan Soundtrack Lagu The Beatles

Gloomy Sunday - Billie Holiday

Siluet Kegetiran Mempertahankan Hal-Hal yang di Ambang Kehancuran | Makna Lagu Dead in the Water - Noel Gallagher's High Flying Birds

Resensi & Review Buku: Journal of Gratitude [Sarah Amijo]

Terbang Tinggi dan Jatuh Tenggelam di antara Ledakan Gemintang | Memaknai Lirik Lagu Champagne Supernova - Oasis