Bidikmisi, What’s Wrong with You?
Masih tercatat di memori, setahun yang lalu, aku sibuk-sibuknya
mempersiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi. Mulai dari melamar
Bidikmisi, mendaftar SBMPTN, dan seterusnya…
Beberapa
malam yang lalu, setelah shalat tarawih di masjid, ibu saya berbincang dengan
mantan tetangga depan rumah (saya baru pindah rumah). Ibuku bertanya bagaimana
kabar anaknya yang seumuran denganku (sebut saja Arnab :3 ), yang mana sekarang sedang menempuh jurusan Pertanian di
Universitas Brawijaya Malang. Ibu si Arnab bilang, kuliah anaknya lancar, biaya
pendidikannya pun ditanggung pemerintah melalui program Bidikmisi. Ibu saya
kaget bukan kepalang. Kira-kira kenapa?
…………………………………..
Begini,
dulu, setahun silam, saya ditolak Bidikmisi tepat setelah saya mengisi kolom
pekerjaan dan penghasilan orang tua. Saya tidak bisa melanjutkan pengisian form
sampai tahap akhir. Seingat saya, ada peringatan bahwa saya, dengan nomor
pendaftaran blablabla tidak memenuhi syarat untuk mendaftar Bidikmisi. Saya
baru tahu ketika bertanya kepada guru-guru bahwa orang tua dari pendaftar
Bidikmisi tidak boleh PNS, dan tidak boleh berpenghasilan diatas 3 juta
perbulan (kalo gak salah). Well, ibu saya memang PNS, guru di salah satu
institusi pendidikan di Kota Malang. Tapi ayah saya tidak. Beliau adalah pedagang biasa.
Penjual aneka ragam obat herbal, buku, bunga, dan banyak lainnya. Meskipun ibu saya berpenghasilan diatas 3 juta perbulan
(menengok apa yang disyaratkan pihak Bidikmisi), jumlah uang segitu dibagi-bagi
dengan pengeluaran yang juga tidak kalah bersaing dengan penghasilan. Jujur
saja, untuk membeli sepeda motor, membeli keperluan belanja sehari-hari,
mencicil untuk membeli rumah (yang alhamdulillah
2017 ini sudah menjadi milik kami), membeli laptop baru (sekolah tempat ibu
saya mengajar adalah sekolah maju, dan mensyaratkan setiap guru membeli laptop
dengan kriteria tertentu. Seingat saya, laptop harus Core i3, Windows 10, dan
berkapasitas besar mengingat banyaknya perangkat pembelajaran yang harus
dimiliki, dan lain-lain). Nah, jumlah gaji 4 juta per-bulan jelas tidak cukup
untuk membiayai kuliah jika sudah dibagi-bagi dengan pengeluaran perbulan yang
beberapa telah saya sebutkan di atas. Sekadar informasi, bahkan di masa itu kami
sekeluarga mengencangkan ikat pinggang. Kata ibu, tirakat. Makan apa adanya, tidak lebih dari nasi dengan lauk tahu,
tempe, telur dadar, dan sayur bayam.
Ah! Masa-masa itu… :’)
Nah,
sampai disini, saya kira pembaca sudah paham betapa saya berasal dari keluarga
pas-pasan (baca: bersahaja. Hahaa XD ). Saat itu saya sempat takut sendiri
bakal gak bisa kuliah kalau tidak mendapat Bidikmisi. Jadilah saya berunding
dengan orang tua, bagaimana cara agar bisa mendapat Bidikmisi, apa pun caranya.
Satu-satunya
cara agar dapat melanjutkan proses pendaftaran Bidikmisi ini adalah dengan
mengganti jumlah gaji orang tua. TAPI, untuk mengganti data yang sudah
dimasukkan, saya harus menghubungi operator, mengajukan keluhan, menjelaskan
mengapa saya bisa ‘salah ketik’, dan
semacamnya. Setelah itu, si pihak Bidikmisi melakukan analisis terkait kiriman
tersebut, logis atau tidak, dan begitulah… Jadi setelah mengetikkan alasan
tersebut, saya tidak bisa langsung mengganti nominal gaji orang tua. Harus
menunggu.
Inhale….. Exhale….
Saya
putuskan saya akan berbohong. Saya membuat alasan yang terlihat masuk akal.
Setelah itu, saya press ENTER. Inhale lagi….. Exhale lagi……
Pihak
Bidikmisi akhirnya menyetujui alasan yang saya buat (baca : yang saya buat-buat). Jadilah saya mengganti
nominal gaji ibu dan ayah saya. Untuk gaji ayah, saya isi pilihan yang paling
rendah. Untuk gaji ibu saya, mau saya turunkan sedikit dibawah 3 juta, tapi
saya takut jika nanti disuruh melampirkan slip gaji. Mati sudah. Akhirnya saya
berembug kembali dengan ibu tentang kekhawatiran saya. -_-
Ibu
bilang, beliau juga khawatir perbuatan tidak jujur akan menghasilkan
kemudharatan. *Ehem. :3
Jadilah
kami berubah pikiran. Dan keputusan saya saat itulah yang menyebabkan saya
berada di posisi saya yang sekarang ini. Saya menyerah akan Bidikmisi. Saya
memilih jujur. Ibu saya PNS. Gaji orang tua lebih dari yang disyaratkan.
Memilih mundur walau di pertengahan (masih bisa berubah pikiran lagi dan
memilih bohong), tahu bahwa PNS tidak pernah disuruh melampirkan slip gaji.
But, yah, inilah pilihan yang saya buat saat itu.
…………………………………..
Kembali
ke kekagetan ibu saya. Bukan ibu saya saja sih
yang kaget. Saya juga.
Bagaimana
tidak, keluarga Arnab terkenal dengan keluarga yang kaya, berada. Ayahnya ABRI,
ibunya ibu rumah tangga, adiknya di sekolah favorit (mahal, jelas). Rumahnya
besar, pasang WiFi dan TV parabola di rumah, kolega dan koneksi dimana-mana,
mobil Jeep, sepeda motor tidak terima 1. Kalau memang menurut sebagian orang,
juga pihak Bidikmisi, mereka adalah keluarga ‘tidak terlalu kaya’, paling tidak
bandingkan sajalah dengan saya. Siapa yang lebih pantas menerima Bidikmisi?
*Sediih…
:|
…………………………………..
Baik.
Kebetulan saya mengalaminya juga kan?
Tapi
sebelum itu, saya juga banyak dengar berita tentang Bidikmisi salah sasaran.
Anaknya polisi dapat. Anaknya pengusaha besar dapat. Mereka itu lo, dari sisi
mananya yang secara masuk akal dianggap “kekurangan”?
Kekurang-objektifan
dalam menilai, tidak menelisik dan meneliti calon penerima dengan teliti
disertai bukti yang valid, hanya menanyakan gaji orang tua tanpa menanyakan
pengeluaran bulanan. Gosh! Kalo kami
memang butuh beasiswa yang ditawarkan, kami mau kok share semua laporan
pengeluaran-pengeluaran ini ke pihak Bidikmisi. Slip pembayaran sewa rumah
tahunan, kuitansi cicil beli rumah, kami mau kok share semuanya.
But
why? Why?
…………………………………..
Demikianlah
yang terjadi pada saya tahun lalu. Entah apakah form Bidikmisi serta
kebijakannya berubah atau tidak tahun
ini, saya tidak tahu menahu. Intinya saya kecewa sekali terhadap Bidikmisi.
Brokenhearted by the unfair, obnoxious system.
Tenang,
sekarang saya sudah move on.
Pantang
mengenang hal-hal seperti itu lagi. :v
Sekian
untuk hari ini. Saya ingin cerita lebih panjang, juga terkait pengalaman
beberapa teman saya terkait “Bidikmisi salah sasaran”, tapi sudah pegel
ngetiknya. Juga keburu ngerjakan pekerjaan lain. Hehe. Terima kasih banyak
sudah membaca sampai akhir, dimohon tidak menjadi emosional. :3
Jika
ada salah kata atau kekurangan-kekurangan dari tulisan diatas, mohon maaf
sebesar-besarnya (mumpung Ramadhan). :3
Wassalam.
XOXO
Alvi Rosyidah a.k.a @alvrose_
.
Komentar
Posting Komentar