Kesabaran Tanpa Batas
Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.
Abu Ibrahim bercerita:
Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa
pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas… kuperhatikan kemah
tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas
tanah dengan sangat tenang…
Ternyata orang ini kedua tangannya buntung… matanya buta… dan
sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit
mengucapkan beberapa kalimat..
Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:
الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍمِمَّنْ
خَلَقَ تَفْضِيْلاً ..الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى
كَثِيْرٍمِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. ..
Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih
jauh… ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua
tangannya buntung… matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi
dirinya…
Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang
mengurusinya? atau isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang
pun…
Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? lanjutku.
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” jawabnya.
“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi
Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa
kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir,
buntung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” ucapku.
“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kataku.
“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan
tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami
dan berfikir…?
“Betul” jawabku. lalu katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.
“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa
mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di
sekelilingku?” tanyanya.
“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” katanya.
“Banyak juga…” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb”, katanya.
“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.
“Wah, banyak itu” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.
“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya…
mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. lalu katanya: “Padahal berapa banyak orang yang
menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka
merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” katanya.
Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu…
dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap
keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah…
Betapa banyak pesakitan selain beliau, yang musibahnya tidak sampai
seperempat dari musibah beliau… mereka ada yang lumpuh, ada yang
kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan organ
tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong
‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis
sejadi-jadinya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap
balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut
demikian besar…
Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:
“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… maukah kamu mengabulkannya?”
“Iya.. apa permintaanmu?” kataku.
Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia
berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang
bocah berumur 14 tahun… dia lah yang memberiku makan dan minum, serta
mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku… sejak tadi malam ia
keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak
tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah
tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta
dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”
Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya…
Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana…
Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar
tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang
tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.
Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni
sesuatu… maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak
lah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas
dengan badan terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya
dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk
burung-burung…
Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada nasib si bocah…
Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam…
Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menujuk kemah pak Tua… aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?
Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam…
maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan
seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang
malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan
bertanya: “Di mana si bocah?”
Namun kataku: “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati
anakmu telah tewas di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan
dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.
Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata: “Laa ilaaha
illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya…
namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat
syahadat kepadanya… hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada
di bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku
mengurus jenazahnya…
Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka… nampaknya
mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang
menghampiriku…
Kukatakan: “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada
kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya
siapa-siapa yang mengurusinya… maukah kalian menolongku memandikan,
mengafani dan menguburkannya?”
“Iya..” jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk
memindahkannya… namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling
berteriak: “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi
waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri
dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh…
Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah…
Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… ia
mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia berjalan-jalan di
tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:
“Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )
Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali
Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.
sumber : http://www.konsultasisyariah.com
Komentar
Posting Komentar