Yang Buya Hamka Sampaikan Melalui “Tuan Direktur”
Tuan
Direktur merupakan buah karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
yang biasa dikenal sebagai Buya Hamka – sesosok ulama sekaligus sastrawan
Indonesia yang cukup prolifik. Tuan
Direktur pertama kali diterbitkan pada tahun 1939 berupa cerita bersambung
yang dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat. Sampai sekarang pun, Tuan Direktur ini masih banyak dibaca oleh segenap kalangan hingga ke negeri seberang.
Tokoh utama dalam Tuan
Direktur adalah Jazuli, seorang pemuda asal Banjarmasin yang merantau ke
Surabaya untuk mencari peruntungan. Di buku ini dikisahkanlah perjalanan Jazuli
yang merubah pribadinya dari orang rendah hati dan taat beragama menjadi orang
yang sepenuhnya berbeda – serigala yang tamak harta. Selain Jazuli, Buya Hamka
menghadirkan sosok Pak Yasin sebagai perbandingan Direktur Jazuli dalam menyikapi
harta benda dan kenikmatan dunia.
Tidak hanya yang berkaitan dengan nafsu materialistik, dibawah
ini beberapa pesan yang Buya Hamka sampaikan melalui Tuan Direktur yang bisa kita ambil sebagai pelajaran.
1.
Surabaya memang kota besar yang kaya (bayangkan saja, Tanjung Perak, Sungai
Mas, Gunung Ringgit!), tetapi alam selalu berhasil memperlihatkan dengan jelas
tabiat manusianya. “Di sungai-sungai
itulah nyata terbentang bahwa manusia tidak berdaya untuk menyembunyikan aib
dan cela masyarakat.” Sungai yang kumuh, menandakan kedisiplinan yang kurang.
Sungai itu pulalah yang menjadi garis pemisah antara kaum berada dan kaum
kurang beruntung. Kedua kalangan tersebut digambarkan hidup berdampingan dengan
perbedaan yang sangat mencolok. “Di
pinggir sungai itu lewat dengan cepatnya kereta yang mahal, sedang beberapa
orang yang tidak tentu rumah tangganya, mandi di bawah dengan tidak memakai sehelai
benang pun. Beberapa perempuan melintas diatas jembatan dengan pakaiannya yang
indah. Di bawah ada beberapa perempuan sedang menyelesaikan kain cucian yang
dicucinya dengan diupah.”
2.
Hidup itu penuh pilihan. Pastikan kita memilih yang terbaik. “Sesungguhnya dunia ini tidak pernah
mempunyai kecukupan. Jika orang berlari mengejar kekayaan uang, dengan tidak
sadar, orang itu telah miskin dalam perkara akhlak. Kalau orang berlari mencari
sahabat yang mengangkat-angkat (baca: suka menyanjung), dengan tidak sadar, ia pun telah miskin sahabat yang sanggup
menunjukkan budi bahasa yang baik.”
3.
“Haji Salmin kelihatan sangat girang
ketika mengambil itu. Apalagi ketika tuan direktur sendiri yang menggoreskan
korek api itu, diulurkan ke hadapannya supaya rokok itu lekas terbakar.”
Ceritanya,
Haji Salmin ini adalah orang yang suka mengagung-agungkan Jazuli dan tidak
lebih dari seorang penjilat. Disini secara tersirat, Buya Hamka menyampaikan
bahwa gelar ‘Haji’ tidak menjamin keelokan tabiat dan budi pekertinya. Dalam konteks
lain, termasuk juga gelar-gelar semacam ‘kiai’, ‘sarjana’, atau ‘diploma’ yang
belum tentu menggambarkan seperti apa yang distereotipkan.
4.
Carilah materi duniawi sewajarnya saja (jangan sampai menghalalkan segala cara demi meraupnya), “sebab
sekali kalau terikat dengan itu, sukar pula melepaskan diri.”
5.
Tentang perempuan baik-baik yang akan ‘laku’ di pasar tertentu sebab kualitas
yang dimilikinya.
“Selama ini Fauzi belum mau
beristri karena pikirannya ragu melihat perangai gadis-gadis didikan sekarang.
Menghias mukanya satu sampai dua jam, tetapi memasak gulai mereka tidak tahu.”
“Mereka terlampau pintar, tetapi menyapu mereka tidak mengerti.”
6.
“Buat apakah satu sangkar dari emas
kalau sangkar itu masih tetap sangkar?”
Dalam
konteks pekerjaan, katakanlah kita bekerja di stasiun TV X yang amat terkenal
dan gaji pun besar, kalimat ini bisa dihubungkan dengan kebebasan yang kita
punya dalam melaporkan berita. Jika kita jadi boneka dan dikontrol ‘orang
atas’, lantas apa maknanya gaji? Kalimat ini juga dapat dikorelasikan dengan
konteks kehidupan dunia dan akhirat. Jika kita hidup bak di sangkar emas semasa
di dunia, tapi akhirnya hangus kena lalapan Hawiyah, apa hidup kita benar-benar
ada maknanya?
7.
“Hendaknya kedua belah pihak sama-sama
tahu, saling menghargai tenaga masing-masing.” Yang satu ini tentang
hubungan atasan dengan bawahan. Seorang bawahan sudah sepatutnya menghargai
atasan karena telah memberinya tempat dan kesempatan, dan begitu pula
sebaliknya, si atasan juga seharusnya menghargai bawahan karena usahanya tidak
akan berjalan tanpa adanya para bawahan.
8.
“Mereka bukan berdiri diatas kakinya
sendiri, tetapi mereka sebenarnya berdiri diatas keringat si lemah dan si
bodoh.” Sebuah kritik Buya Hamka terhadap orang-orang yang menganggap
dirinya mandiri dan superior. Alih-alih tidak membutuhkan orang lain, mereka
ini sebenarnya si licik yang hobi membodohi.
9.
Bahwasanya ada perkara-perkara yang lebih mahal ketimbang uang. “Engkau lupakan akhlak, padahal
diatasnyalah tegak kemanusiaanmu. Engkau lupakan agama, padahal dengan itulah
engkau berbahtera ke akhirat. Engkau lupakan temanmu, padahal di dalam hidup
ini engkau tak sanggup berdiri sendiri.”
10.
“Tegakkan cita-cita lebih dahulu sebelum
berusaha.”
Dalam
hidup, handaknya membangun niat yang baik karena Allah sebelum melakukan
pekerjaan, jadi andaikata kita gagal, kekecewaan tidak akan menghancurkan nilai
perjuangan yang sudah kita bangun.
Sekian.
Semoga bermanfaat. :)
Alvi Rosyidah - @alvrose_
Komentar
Posting Komentar