Perkenalanku dengan Jurusan Sastra Inggris
Dulu, waktu
masih duduk di bangku SD, aku suka sekali Bahasa Inggris. Itu pelajaran
favoritku. Waktu SMP dan SMA juga tetap suka Bahasa Inggris, tapi karena
lingkungan tidak mendukung, jadinya kemampuanku diam di tempat, tidak menguat,
tidak pula meningkat secara signifikan. Paling-paling cuma belajar sebagian
kecil Tenses, expression, macam-macam teks, dan sebagainya. Selama belajar 12
tahun itu pun, aku tidak tahu bagaimana rasanya masuk laboratorium bahasa, karena
di sekolahku memang tidak pernah ada. Selain itu, - bukan maksud meremehkan -,
tapi standar perekrutan guru di sekolahku memang berbeda dengan sekolah-sekolah
negeri. Karena saat SMP aku dipondokkan, guru-guru yang masuk pun difilter
dengan kriteria-kriteria tertentu yang lebih berdasar kepada ajaran Islam yang
dianut pondok (seperti cara berpakaian, berdandan, dan sebagainya). Saat SMA,
ah, sebenarnya aku masih menghabiskan 1 semester di pondok, lalu semester
berikutnya pindah ke sebuah Madrasah Aliyah swasta. Sekolahnya tidak besar,
jarang orang tahu. Lokasinya pun di gang-gang kecil. Yang biasanya di
sekolah-sekolah umum ada 2 sampai 3 jurusan (IPS, IPA, Bahasa), sekolahku hanya
punya 1 jurusan : Keagamaan (KAG).
Karena
selama bertahun-tahun aku lebih difokuskan kepada Bahasa Arab dan ilmu
keagamaan, sudah pasti kemampuan Bahasa Inggrisku gitu gitu aja. Secara tidak langsung, aku jadi tidak berminat
mendaftar jurusan Bahasa Inggris.
Boro-boro
mendaftar di jurusan Sastra Inggris, tertarik saja tidak. Kenapa? Karena saat
itu aku berpikir bahwa Bahasa Inggris
bisa dipelajari sendiri tanpa harus mengambil jurusannya. Pendidikan juga
begitu. Itu masalah skill. Bisa dilatih sendiri. Pikirku waktu itu.
Jadilah
sewaktu kuliah aku mendaftar di suatu universitas swasta jurusan Psikologi, dan
satu lagi, Sastra inggris di UM (karena disuruh Ibu). Namanya juga anak polos
yang baru lulus SMA, ngebet banget masuk jurusan yang diinginkan. Psikologi.
Singkat cerita, karena orang tua lebih mendukungku masuk di Sastra Inggris,
jadilah aku dengan sedikit berat hati masuk kesana.
Setelah
seminggu jadi warga jurusan Sastra Inggris, aku pun menikmatinya juga. Tidak
sesederhana yang kubayangkan di awal. Sederhana apanya, malah berat menurutku.
Maklum, aku masuk tanpa persiapan apa-apa. Tau-tau dosen sudah mengajar
menggunakan Bahasa Inggris, teman-temanku juga sudah mahir menggunakannya,
seolah di SMP atau SMA, mereka sudah terbiasa dan terlatih menggunakan Bahasa
Inggris.
Aku? jangan
ditanya.
Bahkan di
hari kedua KBM, paginya aku urung masuk kuliah, gara-gara hari pertama diluar
perkiraan. Aku ingat persis, jam ke 1-2 adalah IC (Intensive Course) Listening,
dan dilanjut dengan Learner Development (Pengembangan Peserta Didik). Aku
mengurung diri di kamar *alay XD *, minta ke ibuku untuk berhenti kuliah.
Hahaha.. aku sepenuhnya sadar ini bodoh. Tapi menurutku, kebodohan itu bukan
aib, tergantung apa yang terjadi setelahnya. :3
Karena pada
jam pertama hari itu adalah mata kuliah Islam Education (Pendidikan Agama
Islam), aku besarkan hatiku, kembalikan kepercaya-dirianku. Kupegang basmalah
kuat-kuat.
Saat itu
juga aku sadar, ini tantangan.
“Apakah aku
cukup tangguh untuk melaluinya?”
*Jangan,
Kawan. Jangan tertawa. Inilah yang benar-benar aku lalui di masa itu. -_-
Sejak hari itu,
aku mulai menyiksa diri mengejar ketertinggalan. Aku bertanya pada
teman-temanku apa yang sering mereka lakukan ketika nganggur. Lalu aku coba
melakukannya juga.
Yang
sebelumnya aku tidak pernah buka Youtube sama
sekali (iya, beneran!), hari itu aku langsung subscribe banyak channel
native English speaker.
Yang
sebelumnya tidak terlalu suka nonton film, kali itu juga aku mulai nonton
Gravity Falls, Over the Garden Walls, Power Puff Girl, Harry Potter, dan banyak
yang lain.
Aku copy
semua video dokumenter seperti Planet Earth dan National Geographic yang
tersedia di ESAC (English Self-Access Centre).
Aku mulai
baca novel dan cerita berbahasa Inggris seperti Jane Eyre, Pride and Prejudice,
Sense and Sensibility, The Great Gatsby, The Adventure of Tom Sawyer, dan
Huckleberry Finn.
Dan ketika
aku mulai menyadari betapa hebatnya teman-temanku dalam berbicara, aku mulai
gila dan sering berbicara sendiri saat perjalanan pulang. Bicara tentang cuaca,
kejadian-kejadian, dan apapun yang kuindra. Kadang, bicara pada kamera juga
jadi pilihan. Ahaha.. :D
Entahlah.
Pokoknya semuanya kulakukan agar tidak mempermalukan diri sendiri, juga agar
tidak sia-sia belajar di kelas (takutnya gak bisa memahami materi). :D
Demikianlah
kisah perjalanan singkatku dari awal mengenal Bahasa Inggris sampai masuk ke
jurusan Bahasa Inggris tingkat universitas.
Rencana
awal sih aku ingin menulis tentang apa yang dipelajari mahasiswa jurusan Sastra
Inggris, tapi rasanya kurang lengkap kalau aku bercerita tanpa pembaca ketahui
dari sudut pandang apa si penulis ini berkisah. Hehee..
Namanya
juga manusia, kan?
Masing-masing
mempunyai garis start yang berbeda, pun
tantangan dan lika-liku yang dilaluinya.
Oh iya,
nanti jika aku sudah selesai menulis “Sastra Inggris, Belajar Apa Saja?”, akan
aku cantumkan link-nya disini. ^^
Semoga
bermanfaat.
Sekian dan
terima kasih! : )
_______________________________
Alvi Rosyidah || @alvrose_
Bermanfaat sekali. Ditunggu postingan selanjutnya eaa 😉😉
BalasHapusEhe. Terima kasih.. :3
HapusSiapa yang bilang jurusan bahasa mudah? Sini aku pepesin wkwkwkw.
BalasHapusAku ada beberapa teman dekat yang jurusannya Bahasa Inggris di UIN Malang. Sedikit banyak tahulah tentang materi apa aja yang mereka dapat. It's not that simple, justru dibutuhkan skill teori dan analisa yang kuat dan berlogika.
Anyway, salam kenal juga ya!
Cheers xD
That's why... Ane khilap. :'3
Hapus.
Iya mbak bener. Mkanya aku jg pengen memberi gambaran juga ke yang lainnya kalo Bahasa itu nggak sesimpel yg distereotipkan.. ^.^