Sembilan Detik
Sepulang kuliah sore ini, aku melihat sebuah adegan menarik. Adegan yang selama ini kusangsikan keberadaannya.
Kegiatan sepeda motoran di tengah hujan kali ini terasa lebih bermakna ditemani setir oleng gara-gara ban bocor. Kata temanku, kalau ban depan yang bocor, kita harus mundur duduknya, di bagian belakang jok. Katanya, biar ban gak tambah bocor dan rusak. Aku tau bahwa dia sok tau. Tapi khusus untuk kondisi darurat yang mempertaruhkan nyawaku ini, aku rela memundurkan badan, duduk di bagian belakang jok sembari tetap memegang erat setirnya, dan tetap berkendara dengan gaya demikian sampai bengkel.
*Kau tau, Kawan? Aku merasa seperti orang bodoh. 😑
Rasa bertemu pak tukang tambal ban ibaratkan sang pendosa bertemu guru, penjual koran bertemu pembeli, atau orang sakit bertemu dokter. Bahagia sekali!
"Badhe nembel, Pak." kataku pada pahlawan sekaligus dokter sepeda motorku.
"Nggih, monggo mriki.." katanya.
Aku mempersilakan sepeda motorku masuk ke ruang operasi. Dia terlihat pucat.
Sembari menunggu Pak tambal ban mencungkil-cungkil pasiennya, aku duduk di bangku dekat situ. Kubuka HP sebentar, tapi aku bosan. Well, kadang aku berharap tidak ada HP di dunia ini. You can freely guess what the reason is. Kumatikan kembali HP-ku, dan memperhatikan kendaraan lalu-lalang dibawah gerimis tipis. Sesaat menatap langit kelabu, lalu kembali menatap makhluk-makhluk pecinta mesin yang berkelebat di depanku ini. Perutku keroncongan, dan seketika aku sadar bahwa di sebelah tempat aku duduk, ada orang jualan molen.
Sayangnya, si penjual sudah membereskan dagangannya dan bersiap-siap pulang. Ia mendorong rombongnya, menyeberang ke sisi jalan yang lain. Bersamaan dengan ia menyeberang, sebuah angkot melintas di titik yang sama, sehingga jika sedetik saja mereka terlambat mengerem, terjadilah tabrakan. Untungnya tidak. Mereka semua berhenti.
Di jalan yang sempit itu, harus ada salah satu dari mereka - supir angkot atau pedagang molen - yang mengalah untuk melaju belakangan.
Lalu, apa yang ternyata mereka lakukan?
Butuh sembilan detik bagi mereka untuk saling melontar "Monggo, duluan saja..", sambil mengayunkan tangannya, isyarat mempersilakan orang lain untuk jalan terlebih dahulu. Dan berkat si sopir yang baik itu, pedagang molen dan gerobaknya pun melangkah duluan. Detik berikutnya, kendaraan-kendaraan di belakang angkot mulai antri, dan menekan klakson bersahut-sahutan. Ah, sensasi damai di hatiku hilang sekejap mata, ketika melihat si pedagang molen mulai tampak panik dan menyeberang dengan tergesa. Ia pun tampak menoleh sedikit kebelakang, menyungging senyum permintaan maaf pada pengendara-pengendara di belakang yang menunggunya menyeberang.
Ah, sembilan detik itu.
Beberapa ekor manusia itu merusak suasana hatiku.
Beberapa ekor manusia itu menginjak sembilan detikku.
Kapan-kapan, bolehkah kuinjak balik klakson motormu?
Atau banmu?
Biar bernasib sama dengan ban motorku.
///
On a rainy day, somewhere in Malang
Alvi Rosyidah // @alvrose_
Komentar
Posting Komentar