Review Film Buya Hamka Vol. 1 (2023) | Sebuah Biopik yang Rancak

Salah satu kosakata Minangkabau yang saya ingat betul dari film Buya Hamka (Vol. 1) ini adalah rancak. Terlepas dari takarir (teks terjemahan) yang sudah tersedia, saya langsung cek artinya di KBBI. Rancak memiliki dua makna. Dan kedua makna tersebut semuanya sesuai dengan film Buya Hamka garapan sutradara Fajar Bustomi ini.

Makna pertama dari kata rancak mewakili kepuasan saya terhadap film Buya Hamka (2023) ini. Rancak dalam artian yang pertama adalah bagus, elok, dan cantik. Benar saja, saat memasuki bioskop (saya terlambat 1–3 menit di awal), saya langsung terpikat dengan visual dan scoring yang memikat hingga saya hampir kesandung saat menaiki anak tangga menuju seat saya. Pertama, penata musik bekerja dengan luar biasa dalam membangun atmosfer. Kedua, visual yang enak dipandang, terutama tentang estetika masa lampau tanah Minangkabau nun jauh pada zaman kolonial Belanda. Ketiga, terkait aktor-aktrisnya.


Kemistri Vino G. Bastian dengan Laudya Cynthia Bella sebagai Buya Hamka dan istrinya–Siti Raham–sudah sangat sempurna. Buya Hamka yang berambisi tetapi romantis serta Siti Raham yang suportif dan lembut berhasil diperankan dengan baik. Kepatuhan, penghormatan, serta dukungan yang tiada henti dari Siti Raham bahkan di masa-masa sulit tidak lewat ditunjukkan oleh film Buya Hamka (2023) ini. Tidak hanya tokoh utama, tokoh-tokoh seperti Haji Rasul (ayah Buya Hamka), Siti Shafiyah (ibu kandung Buya Hamka), serta tokoh-tokoh yang akan baru muncul di Vol. 2 & 3 seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto (HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam) dan Kulsum (crush Buya Hamka semasa bersafar di kapal) juga saya imani akan tergambarkan dengan baik. Kenapa kok “saya imani”? Karena saya belum menontonnya langsung, baru lihat sekilas dari trailer-nya saja. šŸ˜€

Selain dari hal-hal di atas, satu lagi yang menarik perhatian saya yaitu terkait logat dan bahasa. Beberapa reviu oleh orang Minangkabau asli mengatakan bahwa logat dan aksen yang dibawakan pemerannya tidak natural. Hal itu bisa jadi menyebalkan bagi penutur asli. Namun, dari sudut pandang saya yang bukan penutur asli maupun tahu-menahu soal bahasa Minang, saya acungkan jempol untuk pemerannya. Bagi saya itu tidak terlihat seperti dibuat-buat. Jika dibandingkan Tatjana Saphira yang berperan sebagai Ayu di film Lara Ati, kurasa beda jauh. Jujur saya geli saat mendengar tokoh Ayu ini bicara bahasa Jawa. šŸ˜‘

Nilai-nilai Buya Hamka juga digambarkan dengan baik melalui berbagai adegan di film ini. Seperti di mana Buya Hamka menolak tawaran poligami dengan menjelaskan dalil yang dapat dimengerti orang awam sekalipun. Kemudian juga pada saat Buya Hamka menjelaskan pada istrinya bagaimana sastra–novel roman sekalipun–dapat menjadi lidah penyampai dakwah. Beliau menjelaskan bahwa dakwah tidak hanya dapat dilakukan melalui corong masjid serta ceramah-ceramah. Dakwah dapat pula disampaikan melalui jalur-jalur yang menyentuh hati manusia.

Kemudian ada pula di mana Buya Hamka diundang Seikerei (upacara membungkukkan badan ke arah utara sebagai simbol penghormatan terhadap kaisar Jepang) yang tentunya jika ia melakukannya, itu sama dengan menginjak agama dan bangsanya sendiri. Di sisi lain, beliau tidak mau umat Islam dianggap pemberontak dan Muhammadiyah dimata-matai intelijen Jepang. Akhirnya, beliau menghadiri upacaranya, tetapi tidak ikut memberi penghormatan yang serupa rukuk itu. Saat diinterogasi Gubernur Nakashima, beliau dengan tegas mengatakan bahwa Jepang tidak seharusnya mengaku sebagai saudara tua jika bangsa Indonesia tidak dibiarkan memeluk Islam sebagaimana mestinya. Gubernur Nakashima malah tertegun dan membuat kesepakatan akan mengabulkan permintaan Buya Hamka asalkan Buya mau bekerja sama dan membantu Jepang dalam hal kepenasehatan, utamanya terkait agama. Buya Hamka setuju. Dan itu membuat beliau dicaci-hujat habis-habisan oleh masyarakat, dianggap pengkhianat, serta dilengserkan dari jabatan pemimpin Muhammadiyah Sumatra Timur. Saat itu, belum ada yang menyadari bahwa kedekatan Hamka dengan Jepang hanyalah taktik. Di sini, kita dapat belajar bagaimana Buya Hamka mencari jalan tengah, berusaha menjadi kooperatif, serta menjadikan Jepang batu tumpuan untuk menegakkan agama dan bangsanya sendiri. Peristiwa-peristiwa di atas tersebut diadegankan dengan cukup apik. Jiwa serta ruh sosok Buya Hamka telah tergambarkan dengan baik dan tersampaikan dengan jelas.

-----------------------------------------

Makna kata rancak yang kedua adalah cepat dan dinamis. Jujur saja, saya rasa film Buya Hamka (2023) ini cepat tapi membosankan. Jadi bukan cepat layaknya film-film action, melainkan cepat dalam artian meloncat-loncat. Nah, sayangnya, loncatan-loncatan ini menyebabkan saya tidak sempat membangun emosi dengan tokohnya. Bahkan ketika ada tokoh yang meninggal pun, saya tidak merasakan apa-apa. Hal ini berbeda dengan membaca buku biografi Buya Hamka yang membuat saya ikut sendu manakala orang-orang terdekat Buya Hamka wafat.

Selain itu, film Buya Hamka (2023) ini saya nilai kurang seru sebagai sebuah film. Saat film berakhir, saya sama sekali tidak menyangka bahwa filmnya sudah selesai! Rasanya sepanjang film tidak ada klimaks yang (terasa) berarti. Benar-benar terasa datar. Kemudian, ketika tayangan potongan-potongan trailer Vol. 2 dan 3 ditampilkan tepat setelah Vol. 1 berakhir, saya cuma bisa terperangah sambil bilang “Hah? Udah? Gitu aja? Beneran nih, kita harus nonton volume selanjutnya untuk dapat part serunya?I just couldn’t believe what I saw. Dari yang saya lihat, sepertinya volume 2 dan 3 jauh lebih seru! šŸ˜£

Jika memang nantinya ada volume 2 dan volume 3, mengapa pembagiannya harus demikian? Aku tentu tidak tahu pertimbangan tim produksi, apakah itu trik marketing agar konsumen-konsumen yang kecewa ini kembali ke bioskop untuk menonton lanjutannya atau bagaimana, yang jelas saya tidak menyukai trik ini! Cukup sudah. Kalau saya sih tidak akan kembali menontonnya. Saya akan menyelesaikan baca buku biografinya saja, sepertinya akan terasa jauh lebih baik. :’)

-----------------------------------------

Ulasan ini tentu saja bersifat subjektif, ya. Wong kemarin temannya bapak bertandang ke rumah dan berbincang soal film ini, mereka bilang film ini bagus. Ketika Bapak cerita kalau anaknya (aku) habis nonton itu dan kubilang buruk, para tamu itu langsung bilang, “Ya mungkin beda ya Pak. Anak sekarang memang kurang bisa menyelami keadaan dan perjuangan zaman dahulu.” Intinya aku dibilang gak relate. šŸ˜‘ Belum tau dia kalo aku setertarik itu dengan sejarah serta Buya Hamka secara spesifik. Jika dia bisa menyebutkan 5 buku yang ditulis Buya Hamka yang belum saya baca, saya akan acungi jempol. Saya pun sedang dalam proses menyelesaikan membaca biografi Hamka yang tebalnya tiga kali tebal laptop jadul. Tapi okelah, pandangan tiap orang memang beda. Orang yang berkata demikian pun tidak tahu saya, tidak kenal saya. Cukup berumur juga, haha, jadi bisa saya maklumi. šŸ˜ ✌️

Oke, sekian saja ulasan film Buya Hamka Vol. 1 (2023) ini. Jika ada kekurangan dan ketidak-aturan mohon dimaafkan. Lebih dari itu semua, semoga bermanfaat. :)



-AR


Komentar

  1. rancak bana nian tulisan siko, tertegun hati ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Lirik Lagu Little by Little - Oasis (Bagian 1) | Literal Translation dan Beberapa Catatan Penting

Analisis Lagu "The Masterplan" - Oasis

Terjemahan Bebas dan Analisis Lirik Lagu Little by Little - Oasis (Bagian 2)

Kritik terhadap Standar Sosial serta Impian Manusia yang Terdistorsi | Analisis Lirik Lagu Californication oleh Red Hot Chili Peppers

Bahaya Jas Almamater (dan Sebangsanya)

5 Film dengan Soundtrack Lagu The Beatles

Gloomy Sunday - Billie Holiday

Siluet Kegetiran Mempertahankan Hal-Hal yang di Ambang Kehancuran | Makna Lagu Dead in the Water - Noel Gallagher's High Flying Birds

Resensi & Review Buku: Journal of Gratitude [Sarah Amijo]

Terbang Tinggi dan Jatuh Tenggelam di antara Ledakan Gemintang | Memaknai Lirik Lagu Champagne Supernova - Oasis