Tentang Tabiat Manusia, Kebencian, hingga Oedipus Rex


Tanpa saya sadari, saya semakin berjarak dengan blog ini. Yang mulanya menulis konten karena tidak ada kerjaan, sekarang hanya menulis jika benar-benar ada yang perlu dibicarakan. Ah, dimana-mana, semakin tua, kesan serius makin nampak. Padahal, siapa yang menginginkan itu terjadi?

Oke, jadi benar. Ada hal yang ingin saya bagikan disini, sekarang, sebelum semuanya lenyap digerus otak saya yang lempeng, mudah lupa, makin tumpul disebabkan kebanyakan rebahan (a shout-out for COVID-19!). Dan kali ini saya ingin membicarakannya dengan santai. You too, grab a cup of tea. :)

Beberapa hari lalu, tepatnya di hari H Idul Fitri, para kerabat dekat berkunjung ke kediaman saya, dan salah seorang melihat seonggok buku diatas bantal tidur saya. Buku itu bukan novel, melainkan kumpulan esai yang dibendel 471 halaman, dengan desain sampul unik khas orderan seorang budayawan. Dan memang, penulisnya tak lain dan tak bukan adalah seorang budayawan. Amat beken di masanya, dan buku ini pun heboh pula di masanya, walaupun sekarang juga lagi naik daun lagi (kalau tidak salah saya lihat beberapa bukunya di katalog Penerbit ****n belakangan ini.) Begitulah. Ketika si penulis ini sedang tenar-tenarnya, saya masih kecil sekali. Mungkin waktu masih sekitar 6 sentimeter. Bercanda, umur 6 maksudnya. Saya ingat sekali pernah beberapa kali diajak orang tua ke acara beliau. Saya sekecil itu hanya bisa makan minum hidangannya saja. Tapi, saya ingat betul, para audiens tertawa terbahak-bahak banyak kali selama acara berlangsung. Mestinya karena lucu. Jadi, saya bahagia saja. Kesan saya terhadap orang itu: humoris dan menyenangkan. Lalu seiring berjalannya waktu, SD, SMP, SMA, saya jauh dari suara dan karya beliau ini. Bisa dibilang saya sudah lupa. Hingga baru-baru ini saya ke perpus kampus, menemukan buku karya beliau itu, dan meminjamnya. Saya ingin mencari jawaban tentang premis masa kecil saya yang terformulasikan menjadi secuil pertanyaan: “Selucu apakah orang ini?”

Itulah asal-usul mengapa buku itu ada di rumah saya. Di atas bantal saya. Lalu mari kita kembali ke salah seorang kerabat yang kebetulan melihat buku itu tadi.

Salah seorang kerabat saya itu lalu berkomentar, “Aku kok sudah tidak suka ya dengan orang ini. Tidak lagi tertarik dengan tulisannya juga.” Kemudian saya bertanya alasan dibalik itu. Jawabannya membuat saya berpikir. Ini kali pertama saya berpikir sejak Maret lalu.

Betapa banyak orang menghakimi orang lain hanya karena satu aspek, dan menutup mata terhadap hal-hal lain yang tidak menyenangkan hatinya. Betapa banyak orang memutuskan untuk tidak menyukai dan membenci seseorang, hanya karena satu kesalahan yang ia buat, seolah ribuan kebaikan yang telah ia lakukan sebelumnya tidak lagi bernilai mulia. Betapa banyak orang menilai baik buruknya manusia lain berdasarkan apa yang menurutnya benar, tanpa menimbang dari sudut pandang lain yang bisa jadi juga ada benarnya. Bukankah itu egois? Menuntut orang lain selalu berbuat kebaikan, tanpa menolerir kesalahan, sementara ia sendiri tidak sadar apa yang sedang ia lakukan itu tindakan fasik. Lebih parahnya, betapa banyak orang yang meninggalkan karya, mengabaikan suara, mengacuhkan semua yang dibuat ‘orang tidak baik’ ini. Bukankah Ali bin Abi Thalib berpesan “Undzur maa qaala, wa laa tandzur man qaala.” (“Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”). Kesalahan pribadi seseorang tidak dapat mengurangi kebenaran yang terkandung dalam perkataannya (jika memang benar). Apalagi jika itu opini biasa, bukan menyangkut akidah atau bidang lain yang membutuhkan profesionalitas dalam membahasnya. Lagipula, bukankah setiap orang pasti membuat kesalahan?

Pemikiran soal ini melempar saya jauh ke beberapa semester lalu saat saya mengikuti kelas Introduction to English Literature. Suatu hari di semester tiga. Kali itu kami membahas suatu karya sastra (literature) berupa naskah drama oleh seorang penulis Yunani kuno, Sophocles. Judulnya Oedipus Rex, atau bahasa sininya, Oedipus Sang Raja. Setelah membahas soal literary devices, forms, elements, dan lain-lain, sampailah kami ke perbincangan mengenai apa sebenarnya yang ingin disampaikan penulis. Disinilah dosen saya menekankan poinnya: bahwasanya protagonis tidak selalu baik. Ini seolah jadi titik balik bagi pemahaman yang sudah mengakar dalam pikiran saya, bahwasanya protagonis itu tokoh baik, dan antagonis tokoh jahat. Di cerita ini, Raja Oedipus merupakan tokoh protagonis, dan disini ia tidak digambarkan sempurna dan tidak memiliki kesalahan. Dan kesalahan-kesalahan itu tidak serta merta mengubah labelnya menjadi antagonis. Begitu juga dalam kisah Romeo and Juliet, Macbeth, atau King Lear karya William Shakespeare. Tokoh protagonisnya pasti pernah berbuat jahat maupun dosa. Dan karena kerealistisan inilah yang membuat pengamat sastra dan budayawan menilai karya mereka sebagai masterpiece atau mahakarya. Karena kerealistisannya itulah yang membuat karya-karya itu manjadi besar, terkenal, dan sampai di telinga kita. Sebaliknya, cerita-cerita semacam sinetron In**siar yang kurang realistis itulah yang membuatnya dinilai problematic, atau bermasalah. Salah satunya adalah karena pattern atau pola yang bisa ditebak. Yang jahat tidak pernah berbuat baik, dan yang baik tidak pernah berbuat jahat/dosa. Benar tidak? Cobalah cari manusia semacam itu di dunia nyata. Tidak akan ada. Manusia itu makhluk yang diciptakan kompleks. Kompleks pola pikirnya, pola sikapnya, psikologisnya, kepribadiannya, dan segala macamnya. Melalui prinsip itu, saya pikir terlalu kaku jika kita mengkategorikan manusia hanya ke dalam 2 jenis: orang baik (protagonis) dan orang jahat (antagonis).

Begitulah, manusia itu barang rumit. Semoga kita semakin bijak dalam menilai dan menghakimi. Don’t be recklessly judgemental. Ambil baiknya, buang buruknya. Lagipula, apa yang didapat dengan menghakimi orang sembarangan? Kepuasan menjadi yang paling benar? (karena menurut saya, menghakimi orang lain tanpa merasa paling benar adalah mustahil). Tetap dengarkan apa yang mereka katakan. Karena berpaling, menutup telinga, dan meninggalkan karya-karyanya merupakan tindakan tidak bijaksana hanya dengan alasan “saya tidak suka orangnya.”


Terima kasih sudah membaca. :)
Salam.


Komentar

  1. Protagonis tidak selalu baik dan antagonis tidak selalu jahat.

    Sudut pandang penulis yang menciptakan seperti itu. Dan kita bisa saja punya sudut pandang yg berbeda

    BalasHapus
    Balasan
    1. Contohnya? Protagonis selalu baik?

      Karena kalau selalu berusaha berbuat baik, baru saya sepakat. Saya rasa itu salah satu yang membedakan antara protagonis dan antagonis. CMIIW :)

      Hapus
  2. Ternyata kita bukan hanya terbuat dari semesta, atau dari "serbuk bintang", meminjam istilah Carl Sagan, tapi kita juga seluas dan serumit semesta. - Matt Haig, Reasons to Stay Alive

    Rumit emang ya manusia itu~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Exactly, Maria. Keren sekali kau punya kutipan. Voracious reader emang beda. šŸ˜ŒšŸŒæ

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Lirik Lagu Little by Little - Oasis (Bagian 1) | Literal Translation dan Beberapa Catatan Penting

Analisis Lagu "The Masterplan" - Oasis

Terjemahan Bebas dan Analisis Lirik Lagu Little by Little - Oasis (Bagian 2)

Bahaya Jas Almamater (dan Sebangsanya)

Kritik terhadap Standar Sosial serta Impian Manusia yang Terdistorsi | Analisis Lirik Lagu Californication oleh Red Hot Chili Peppers

5 Film dengan Soundtrack Lagu The Beatles

Gloomy Sunday - Billie Holiday

Terbang Tinggi dan Jatuh Tenggelam di antara Ledakan Gemintang | Memaknai Lirik Lagu Champagne Supernova - Oasis

7 Alasan Mencela Diriku - Kahlil Gibran

Resensi & Review Buku: Journal of Gratitude [Sarah Amijo]