Hukum Rimba: Godaan Kaum "Beradab"
Hukum rimba.
Hukum yang semua orang mengutuknya, tapi tanpa terasa, kita pun turut
melestarikannya.
-------------------------
Beberapa hari
yang lalu, setelah pulang mengajar jam delapan malam, saya berencana mampir ke
warung bakso, minta dibungkuskan satu porsi untuk dibawa pulang. Sayangnya,
begitu sampai TKP, warung itu cukup ramai pembeli. Ada sekitar 3 pembeli yang
harus dilayani sebelum giliran saya. Berhubung saya lapar (dan lagi kepingin
:D), jadi saya rela antre dan menunggu. Sembari menunggu, seperti biasa,
saya amati orang sekitar saya. Si penjual yang kelihatan lelah, si bapak
pembeli yang minta dibungkus banyak sekali, anak kecil beserta ayahnya yang
juga menunggu dilayani, dan ibu paruh baya yang sepertinya baru pulang dari
pabrik (atau hanya
seragamnya saja? No one knows) di antrean sebelum saya.
Setelah tiba
giliran saya, sebuah sepeda motor merapat. Datanglah pembeli baru, dua anak
perempuan seumuran saya yang segera setelah memarkir motornya, menyerbu gerobak
baksonya, dan berkata dalam Bahasa Jawa yang artinya “Budhe… Aku bungkuskan
cilok 5000 – dua bungkus. Kasih kuah sedikit saja.” Dan anehnya, si nenek
penjual bakso itu berkata kepada saya “Sik nduk ya. Arek-arek cilik iki
sik..” (Sebentar ya, nduk. Anak-anak kecil ini dulu), sambil tertawa ringan
dan membungkuskan pesanan mereka berdua. Saya, yang bukan tipe orang rusuh dan
biasa mengutarakan keinginan saya secara frontal, tidak menjawab. Diam saja.
Dan tentu, sambil mengamati kedua perempuan yang dianggap “anak kecil” itu
tadi, ingin tahu apakah ada raut bersalah di mukanya. Nyatanya, nihil. Mereka
hanya memandang tangan si “Budhe” yang dengan cekatan membungkuskan cilok ke
dalam kantong plastik. Sedangkan dua gadis itu tadi sepertinya ikut menghitung,
seolah mengawasi agar si “Budhe” tadi tidak korupsi. Sama sekali tidak
mengindahkan kehadiran saya, yang jelas-jelas datang lebih awal, mengantre
lebih awal, dan, ironisnya pulang paling akhir.
Sedikit
mengumpat dalam hati, tapi tidak saya ungkapkan karena menjaga adab dan harga
diri.
Bukankah
setiap orang dewasa dan berakal seharusnya memiliki self-control yang
baik?
(Oh, tidak
ya? Maaf. Berarti saya tadi sedang berada di Wkwkland :v )
Dalam
perjalanan pulang saya berpikir, tidak mungkin si “anak-anak kecil” itu tadi
dilayani lebih awal tanpa alasan. Apalagi mereka memanggil si penjual dengan
sebutan “Budhe”. Kesimpulannya, mereka pasti sudah kenal satu sama lain.
Sepertinya tetangga.
Oke, memang
awalnya saya marah, mengumpat dalam hati. Tapi pada akhirnya itu merupakan
sebuah pelajaran untuk saya untuk direnungi. Jadilah saya juga menuangkannya
disini.
Ada 2 hal
yang saya pelajari malam itu:
1. Manusia
modern abad ini paham teori, tapi lupa aplikasi. Mereka dapat
pelajaran tentang kesopanan, kedisiplinan, menghormati orang lain, menghargai
hak orang lain, dan pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya, yang saya yakin,
ketika ada soal ujian negara “Ketika melihat antrean ramai, apa yang harus
kamu lakukan?”, mereka dengan mudahnya akan menjawab “tetap mengantre”,
atau bahkan “membantu petugas/penjual melayani antrean.” Tetapi, pada real-life experience,
hanya sebagian orang yang menghormati pengetahuan dasar itu di otaknya. Hanya
sebagian orang saja yang mau mengaplikasikannya.
2. Banyak
orang membenci hukum rimba, tapi di sisi lain turut melestarikannya. Kembali ke
poin 1, manusia mengerti apa itu munafik dan bagaimana hukumnya. Mereka
mengutuk hukum rimba. Mengutuk diktator, kaum kelas atas yang seenaknya saja
menyelewengkan kekuasaan. Nyatanya, yang teriak “Hukum Rimba itu sampah” juga
melakukannya. Sederhana saja, cerita diatas adalah contohnya. Karena si penjual
adalah tetangganya, maka ia merasa berhak dilayani lebih dulu (karena sudah
akrab). Karena si pembeli adalah tetangganya, maka mereka harus dilayani lebih
dulu (atau dia akan dibenci, kehilangan pelanggan, dan reputasinya di kampung
akan merosot). Ini kesepakatan kedua pihak penjual dan pembeli. Artinya mereka
sama-sama setuju dengan hukum rimba jika itu
menguntungkan diri sendiri!
Kalau
antrenya di Bank, Puskesmas, atau rumah sakit, mungkin ini tidak jadi masalah
karena kita punya nomor antrean. Yang jadi masalah adalah invisible queue,
antrean melebar tanpa berbaris (biasanya terjadi di warung, tempat fotokopi,
dsb.). Bukankah dalam situasi demikian, seseorang seharusnya memanfaatkan
matanya untuk mengamati siapa yang datang sebelum dan setelah dia, dan bersikap
jujur ketika si petugas/penjual lupa siapa yang datang lebih dulu dan melayani
orang yang salah?
Saya tidak
tahu apakah ini problem masyarakat Indonesia saja atau di negara lain juga.
Tapi, yang saya tahu, di negara-negara maju seperti Inggris dan Jepang tidak
demikian. Walaupun antreannya tidak jelas, tiap orang tahu diri, kapan mereka
seharusnya dilayani. Tidak percaya? Silakan search di Google, YouTube,
atau klik link INI. Di video ini secara implisit
dijelaskan bahwa walaupun dalam situasi invisible queue, budaya orang Inggris
adalah mengamati siapa-siapa yang datang lebih dahulu sehingga nilai-nilai
kesopanan terjaga, adil, dan tidak ada yang merasa dirugikan.
That’s it
Silakan bagi
kalian yang mau baca opini saya yang lain, klik DISINI. :)
I would
appreciate it very much if you do.
Last but not
least, Thanks! :D
Cheerio!
Alvi Rosyidah
@alvrose_
Nb: Image source is here.
Komentar
Posting Komentar